Thursday, April 19, 2012

HUKUM KEKELUARGAAN ISLAM



 PENDAHULUAN.

  A. Latar Belakang

Islam adalah agama fitrah, agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia sesuai dengan tuntutan fitrah hidupnya yang multidimensional, manusia yang bernaluri secara sexsual dan berketurunan, diberi pedoman hidup untuk berkeluarga secara beradap dan berkehormatan dengan melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW dan merupakan persyaratan dalam membentuk keluarga yang Islami.

Pernikahan dalam konsep Islam adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan dengan persetujuan keduanya serta dilandasi dengan cinta dan kasih sayang bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam ikatan rumah tangga.

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.

Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah).

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-qur’an dan Sunah Rasul.

B.PEMBAHASAN

PERNIKAHAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.

Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang memeriksa perkara tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak baik.

Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan fasilitas video teleconference. Teknologi video teleconference lebih mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat menampilkan gambar/citra secara realtimemelalui jaringan internet.

Adanya sedikit penjelasan di atas yaitu mengenai pengertian, syarat maupun rukun ijab qabul yang mana Ijab oleh wali dan qobul oleh calon suami. berkenaan atas adanya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihubungkan dengan pelaksanaan ijab qobul ini, maka penulis mengangkat permasalahan yang mungkin terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yaitu sah atau tidak akad nikah yang ijab qobulnya dilaksanakan melalui telepon  dan internet ?

Pada zaman ini,  alat ukur sudah berteknologi canggih, termasuk dibidang komunikasi. Alat – alat itu sudah sangat akrab dengan kehidupan kita sehari – hari.

Wartel ( warung Telekomunikasi ) , HP ( Hand Phone )  dan Warnet ( Warung Internet ) tumbuh bagaikan jamur di musim labuh. Kenyataan tersebut mengilhami sebagian orang untuk melangsungkan pernikahan lewat telepon dan internet, karena dipandang lebih praktis apalagi bagi orang yang sangat sibuk. Namun, memutuskan hukum, tidaklah cukup hanya didasarkan atas pertimbangan kepraktisan semata. Perlu dipertimbangkan aspek – aspek yang lain. Sebab menurut ajaran Islam, pernikahan merupakan sebuah prosesi yang sangat sakral.

Pernikahan merupakan Mitsaq al – ghalizh ( tali perjanjian yang kuat dan kokoh ), bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Dilihat dari fungsinya, pernikahan merupakan satu – satunya cara yang sah untuk mendapatkan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologis, di samping meningkatkan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu pernikahan adalah Syari’atun azhimatun ( Syariat Yang Agung ) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah SWT. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.

Pernikahan merupakan bentuk ibadah Muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanannya diikat dan diatur oleh ketentuan syart dan rukun.

Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut Jumhur al – Ulama’ ( mayoritas pendapat Ulama’ ) ada empat macam meliputi : Shighat atau ijab qabul, mempelai wanuta, mempelai laki – laki dan wali. Ada juga yang memasukkan ulama’ yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al – ulama’ memendang keduanya sebagai syarat.

Dari ketentuan diatas kita dapat pahami bahwa ijab dan qabul adalah satu –satunya rukun yang disepakati oleh senmua ulama’. Meskipun mereka sepakat hal itu namun keduanya, baik hanafiyah maupun jumhur al – ulama’ memiliki pengertian tentang ijab dan qabul yang berbeda. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu orang yang melakukan akad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur  al – ulama’. Ijab memiliki pengertian lafald yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul adalah lafal yang keluar dari pihak laki – laki sebagai petunjuk kesediaan menikah. Jadi menurut Hanafiyah, boleh – boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki – laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al – ulama’ yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki – laki.

Melihat kedudukannya yang demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda dengan akad jual beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tanwir Al – Qulub, At – Tanbih, dan Kifayah Al – Akhyar, akad pernikahan hanya dianggap sah jika dihadiri mempelai laki – laki, seorang wali dan di tambah minimal dua orang saksi yang adil.

Pengertian “ dihadiri “ di sini, mengharuskan mereka secara fisik  ( jasadnya ) berada dalam satu majlis. Hal itu untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan. Sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan tidak mempunyai peluang untuk mengingkarinya.

Karenanya, akad nikah lewat telepon dan internet tidak mendapat pembenaran dalam fiqih. Sebab tidak dalam satu majlis dan sangat sulit dibuktikan.[

Di masa dulu, akad nikah ( ijab dan qabul ) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir di majlis yang telah disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telepon, faks dan lain – lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan prosesi akad nikah dalam hal ini ijab dan qabul.

Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah menu e – mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya media yang digunakan untuk menulis pesan. Kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relative lama untuk sampai tujuan sedangkan e – mail dan chating menggunakan computer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh orang yang dituju.

Menurut ulama’ Hanafiyah bahwa akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan karena mereka menyamakan dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat di pandang sebagai khitab ( al – khitab min al – ghaib bi manzilah al – khitab min al – hadhir ) dengan syrat dihadiri oleh dua saksi.

Meskipun penggunaan telephon dan internet untuk melakukan akad nikah  jarak jauh ada yang memperbolehkan namun pendapat itu banyak ditentang oleh jumhur al – ulama’ mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sacral dan bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah,mawaddah dan rahmah bahkan tatanan social yang kukuh. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus di hadiri oleh yang bersangkutan secara  langsung dalam hal ini mempelai laki –laki, wali dan minimal dua saksi.

Dengan demikian akad nikah melalui media komunikasi ( internet, telepon,faks dan lain – lain ) tidaklah sah, karena tidak dalam satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping itu sesuai dengan pendapat Mlikiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah.
hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena:
(a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad
(b) saksi tidak hadir di majlis akad
(c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).



C. Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam
Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.
Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih
لا ضرر ولا ضرارا
Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah
KESIMPULAN
Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat lah kami simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
1.nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2.penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
3.penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

No comments:

Post a Comment