Selasa.19.des.2011
MARI berbicara tentang laut. Bayangkanlah suatu wilayah laut yang sangat luas kemudian ditaburi belasan ribu pulau. Bayangkan lagi, laut menjadi perekat antarpulau, bukan penyekat.
SEBAGAI negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, tetapi hanya sekitar 5.700 di antaranya yang bernama. Luas perairan mencapai 3,1 juta kilometer persegi, terdiri atas 2,8 juta kilometer persegi perairan Nusantara dan 0,3 juta kilometer persegi laut teritorial, serta 2,7 juta kilometer persegi perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Panjang garis pantainya 80.791 kilometer atau 43.670 mil.
Wilayah laut Indonesia mengambil dua pertiga wilayah Nusantara. Tidak heran jika sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudra luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, kemudian oleh kolonial, bangsa Indonesia didesak ke pedalaman, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
Tekad kembali ke laut ditekankan pemerintah bersamaan dengan pencanangan Tahun Bahari pada tahun 1996. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya,” ungkap Presiden Soeharto ketika itu.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Disertasi yang ditulis Edward L Poelinggomang, kemudian dibukukan dengan judul Makassar Abad XIX; Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, menyebutkan bahwa pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.
Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).
Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Menurut ahli sejarah maritim dari Universitas Hasanuddin itu, wilayah Sulawesi tidak disebut dalam kelima jaringan perdagangan itu. Pelabuhan Makassar yang berada di tengah- tengah dunia perdagangan baru berkembang sekitar abad ke-16. Di bagian utara berkembang jaringan perdagangan Laut Sulu, di timur dan selatan jaringan perdagangan Laut Jawa, dan di barat jaringan perdagangan Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Teluk Bengal.
“Dari berbagai dokumen yang saya baca, sekitar abad ke-17 Pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan yang paling besar dan paling bagus penataan ruangnya,” kata Edward. Hingga abad ke-19, hanya Makassar yang memberi izin tinggal bagi pedagang asing sehingga pedagang dari Inggris, Denmark, Portugis, dan Spanyol bebas membangun loji (tempat untuk tinggal dan berdagang sekaligus menjadi gudang dan agen perwakilan) di sekitar pelabuhan.
“Data kekuatan armada kapal dagang tahun 1999 menunjukkan Indonesia berada pada urutan terakhir di Asia Tenggara. Singapura, negara kecil yang luas perairannya juga sangat kecil, armada kapal lautnya berada pada urutan pertama di Asia Tenggara. Padahal, dari pertimbangan wilayah, kitalah negara yang paling membutuhkan armada dagang untuk menghubungkan setiap pulau,” ungkap Edward.
Pemantauan Kompas di Pelabuhan Paotere, salah satu pelabuhan rakyat di Sulawesi Selatan, menegaskan pernyataan Edward bahwa armada pelayaran rakyat makin menyusut. Menurut Kamaruddin, salah seorang anggota Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra) Makassar, sejak tahun 1995 tidak pernah ada peremajaan kapal. Sejak itu armada kapal rakyat di Paotere berkurang separuh dari jumlah sekitar 60 kapal.
Di samping karena kekurangan modal, pengusaha pelayaran rakyat Sulawesi Selatan yang mengandalkan kapal kayu dihadapkan pada persaingan dengan kapal besi yang daya angkut dan kecepatannya lebih unggul. “Kapal-kapal milik pengusaha besar itu pun mendominasi jalur-jalur pelayaran yang tadinya dilayani oleh kapal-kapal rakyat,” tutur Kamaruddin.
Jasa pelaut tradisional sebagai pengintegrasi bangsa pada masa lalu tidak dapat dimungkiri. Melalui interaksi perdagangan, mereka saling berhubungan sehingga membentuk ikatan solidaritas di antara suku-suku yang ada di Nusantara. Sekarang bangsa Indonesia hanya diikat dengan konsep politik yang secara historis terbukti tidak kuat. Akibatnya, ikatan solidaritas masyarakat antarpulau semakin tipis.
Edward mengingatkan, bangsa Indonesia akan menghadapi dilema jika tidak memperhatikan potensi laut yang menghubungkan setiap pulau dan tetap berupaya mengintegrasikan bangsa ini dengan sistem politik. “Hubungan persahabatan lebih mengikat dibanding integrasi secara politis. Begitu sistem politik dijalankan sebagai alat integrasi, orang-orang di luar Jawa akan bilang, ’Wah, ini penyelesaian Jawa’,” ujarnya.
Modernisasi armada pelayaran pada masa kolonialisme Belanda berhasil menyobek jaringan persahabatan antarpulau atau antarkerajaan di Nusantara. Jaringan pelayaran rakyat ketika itu dibatasi dan diganti dengan armada niaga Belanda.
PADA tahun 1996, yang dicanangkan pemerintah sebagai Tahun Bahari, konsep negara kepulauan mulai diubah menjadi konsep benua maritim. Bangun wilayah perairan Nusantara yang menyerupai benua membuat Indonesia layak disebut sebagai benua maritim.
Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia, yang diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1996, pemerintah mengajak bangsa Indonesia kembali ke laut. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari, dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya.” Demikian Presiden Seoharto dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.
Benua Maritim Indonesia pada konvensi itu didefinisikan sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dan dirgantara di atasnya, tertata secara unik. Ia menampilkan ciri-ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca (klimatologi dan meteorologi), keadaan airnya (oseanografi), tatanan kerak bumi (geologi), keragaman biota (biologi), serta tatanan sosial budayanya (antropologi), yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keseluruhan aspek itu secara langsung maupun tidak akan menggugah emosi, perilaku, dan sikap mental dalam menentukan orientasi dan pemanfaatan unsur-unsur maritim di semua aspek kehidupan.
Salah satu hal penting yang dibahas pada konvensi itu adalah aktualisasi Wawasan Nusantara sebagai landasan konsepsional Benua Maritim Indonesia. Pemikiran tentang Wawasan Nusantara berkembang dari konsepsi geopolitik menjadi politik nasional yang memandang wilayah Nusantara dan bangsa Indonesia yang beragam suku, etnik, budaya, agama, dan golongan menjadi satu kesatuan.
Semuanya itu dalam perwujudan fisik merupakan Benua Maritim Indonesia.
Akan tetapi, konsep pengembangan jaringan melalui kegiatan maritim agaknya tidak terlalu banyak terjadi. Itu antara lain dikarenakan sudah sekian lama berlangsung monopoli, termasuk di sektor maritim, oleh segelintir pengusaha di negeri yang subur dan kaya ini.
Coba bayangkan, betapa nenek moyang kita yang pelaut itu telah memanfaatkan kehidupan laut sebagai infrastruktur: tempat berlayar, berlalu lalang, berdagang, berinteraksi dengan masyarakat di belahan pulau lain.
Lalu, bayangkan nyanyian Nenek Moyangku Orang Pelaut yang legendaris itu. Masih mengentak-entakkah atau sudah hambar kedengaran di telinga?
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/18/bahari/861283.htm
MARI berbicara tentang laut. Bayangkanlah suatu wilayah laut yang sangat luas kemudian ditaburi belasan ribu pulau. Bayangkan lagi, laut menjadi perekat antarpulau, bukan penyekat.
SEBAGAI negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, tetapi hanya sekitar 5.700 di antaranya yang bernama. Luas perairan mencapai 3,1 juta kilometer persegi, terdiri atas 2,8 juta kilometer persegi perairan Nusantara dan 0,3 juta kilometer persegi laut teritorial, serta 2,7 juta kilometer persegi perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Panjang garis pantainya 80.791 kilometer atau 43.670 mil.
Wilayah laut Indonesia mengambil dua pertiga wilayah Nusantara. Tidak heran jika sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudra luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, kemudian oleh kolonial, bangsa Indonesia didesak ke pedalaman, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
Tekad kembali ke laut ditekankan pemerintah bersamaan dengan pencanangan Tahun Bahari pada tahun 1996. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya,” ungkap Presiden Soeharto ketika itu.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Disertasi yang ditulis Edward L Poelinggomang, kemudian dibukukan dengan judul Makassar Abad XIX; Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, menyebutkan bahwa pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.
Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).
Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Menurut ahli sejarah maritim dari Universitas Hasanuddin itu, wilayah Sulawesi tidak disebut dalam kelima jaringan perdagangan itu. Pelabuhan Makassar yang berada di tengah- tengah dunia perdagangan baru berkembang sekitar abad ke-16. Di bagian utara berkembang jaringan perdagangan Laut Sulu, di timur dan selatan jaringan perdagangan Laut Jawa, dan di barat jaringan perdagangan Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Teluk Bengal.
“Dari berbagai dokumen yang saya baca, sekitar abad ke-17 Pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan yang paling besar dan paling bagus penataan ruangnya,” kata Edward. Hingga abad ke-19, hanya Makassar yang memberi izin tinggal bagi pedagang asing sehingga pedagang dari Inggris, Denmark, Portugis, dan Spanyol bebas membangun loji (tempat untuk tinggal dan berdagang sekaligus menjadi gudang dan agen perwakilan) di sekitar pelabuhan.
“Data kekuatan armada kapal dagang tahun 1999 menunjukkan Indonesia berada pada urutan terakhir di Asia Tenggara. Singapura, negara kecil yang luas perairannya juga sangat kecil, armada kapal lautnya berada pada urutan pertama di Asia Tenggara. Padahal, dari pertimbangan wilayah, kitalah negara yang paling membutuhkan armada dagang untuk menghubungkan setiap pulau,” ungkap Edward.
Pemantauan Kompas di Pelabuhan Paotere, salah satu pelabuhan rakyat di Sulawesi Selatan, menegaskan pernyataan Edward bahwa armada pelayaran rakyat makin menyusut. Menurut Kamaruddin, salah seorang anggota Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra) Makassar, sejak tahun 1995 tidak pernah ada peremajaan kapal. Sejak itu armada kapal rakyat di Paotere berkurang separuh dari jumlah sekitar 60 kapal.
Di samping karena kekurangan modal, pengusaha pelayaran rakyat Sulawesi Selatan yang mengandalkan kapal kayu dihadapkan pada persaingan dengan kapal besi yang daya angkut dan kecepatannya lebih unggul. “Kapal-kapal milik pengusaha besar itu pun mendominasi jalur-jalur pelayaran yang tadinya dilayani oleh kapal-kapal rakyat,” tutur Kamaruddin.
Jasa pelaut tradisional sebagai pengintegrasi bangsa pada masa lalu tidak dapat dimungkiri. Melalui interaksi perdagangan, mereka saling berhubungan sehingga membentuk ikatan solidaritas di antara suku-suku yang ada di Nusantara. Sekarang bangsa Indonesia hanya diikat dengan konsep politik yang secara historis terbukti tidak kuat. Akibatnya, ikatan solidaritas masyarakat antarpulau semakin tipis.
Edward mengingatkan, bangsa Indonesia akan menghadapi dilema jika tidak memperhatikan potensi laut yang menghubungkan setiap pulau dan tetap berupaya mengintegrasikan bangsa ini dengan sistem politik. “Hubungan persahabatan lebih mengikat dibanding integrasi secara politis. Begitu sistem politik dijalankan sebagai alat integrasi, orang-orang di luar Jawa akan bilang, ’Wah, ini penyelesaian Jawa’,” ujarnya.
Modernisasi armada pelayaran pada masa kolonialisme Belanda berhasil menyobek jaringan persahabatan antarpulau atau antarkerajaan di Nusantara. Jaringan pelayaran rakyat ketika itu dibatasi dan diganti dengan armada niaga Belanda.
PADA tahun 1996, yang dicanangkan pemerintah sebagai Tahun Bahari, konsep negara kepulauan mulai diubah menjadi konsep benua maritim. Bangun wilayah perairan Nusantara yang menyerupai benua membuat Indonesia layak disebut sebagai benua maritim.
Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia, yang diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1996, pemerintah mengajak bangsa Indonesia kembali ke laut. “Bangsa Indonesia yang di masa lalu mencatat sejarah sebagai bangsa bahari, dalam perjalanannya telah kehilangan keterampilan bahari sehingga luntur pula jiwa maritimnya.” Demikian Presiden Seoharto dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.
Benua Maritim Indonesia pada konvensi itu didefinisikan sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dan dirgantara di atasnya, tertata secara unik. Ia menampilkan ciri-ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca (klimatologi dan meteorologi), keadaan airnya (oseanografi), tatanan kerak bumi (geologi), keragaman biota (biologi), serta tatanan sosial budayanya (antropologi), yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keseluruhan aspek itu secara langsung maupun tidak akan menggugah emosi, perilaku, dan sikap mental dalam menentukan orientasi dan pemanfaatan unsur-unsur maritim di semua aspek kehidupan.
Salah satu hal penting yang dibahas pada konvensi itu adalah aktualisasi Wawasan Nusantara sebagai landasan konsepsional Benua Maritim Indonesia. Pemikiran tentang Wawasan Nusantara berkembang dari konsepsi geopolitik menjadi politik nasional yang memandang wilayah Nusantara dan bangsa Indonesia yang beragam suku, etnik, budaya, agama, dan golongan menjadi satu kesatuan.
Semuanya itu dalam perwujudan fisik merupakan Benua Maritim Indonesia.
Akan tetapi, konsep pengembangan jaringan melalui kegiatan maritim agaknya tidak terlalu banyak terjadi. Itu antara lain dikarenakan sudah sekian lama berlangsung monopoli, termasuk di sektor maritim, oleh segelintir pengusaha di negeri yang subur dan kaya ini.
Coba bayangkan, betapa nenek moyang kita yang pelaut itu telah memanfaatkan kehidupan laut sebagai infrastruktur: tempat berlayar, berlalu lalang, berdagang, berinteraksi dengan masyarakat di belahan pulau lain.
Lalu, bayangkan nyanyian Nenek Moyangku Orang Pelaut yang legendaris itu. Masih mengentak-entakkah atau sudah hambar kedengaran di telinga?
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/18/bahari/861283.htm
No comments:
Post a Comment